Feature Sejarah

Minggu, 26 April 2009

Contoh Feature Sejarah

Simbol Kejayaan Transportasi Masa Kolonial
Kini menjadi sarang kelelawar dan burung hantu.

Gedung tua di ujung Jalan Pancasila, Kota Tegal, ini masih kokoh berdiri. Halamannya berumput hijau, tumbuh merata. Tampak pula beberapa pohon Akasia di sekitarnya sehingga area itu tampak asri dari luar. Tapi, begitu masuk ke dalam, ada kesan seram. Apalagi di lantai dua dan tiga, bulu kuduk bisa merinding. Dua lantai itu menjadi sarang kelelawar dan burung hantu.

Sesungguhnya, bangunan ini bagus, tapi tak terurus. Pemerintah daerah binggung bagaimana mengurusnya. “Kami sulit (mencari) tim ahli untuk menentukan apakah gedung tersebut layak dijadikan cagar budaya atau tidak,”kata Akur Sujarwo, Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Pemuda Olah raga dan Pariwisata Kota Tegal.

Akur hanya pasrah saat Kepala Kantor Wilayah Museum dan Purbakala Jawa Tengah mengirim surat imbauan penyelamatan cagar budaya pada 1998. “Pemkot sendiri belum memiliki perda untuk melindungi keberadaan gedung tua,” katanya.

Tembok bangunan itu bercat putih, sarat ornamen propel. Sayang, sebagian dindingnya sudah berlumut. Tak banyak orang yang tahu bahwa gedung ini pernah menjadi symbol kejayaan transportasi di masa Kolonial Belanda, Yakni sebagai Kantor Biro Semarang-Cheribon Stoomtram Matschappij (SCS), di bawah perusahaan Nederland Indice Sporing (NIS) .

Di bawah bangunan ini ada bungker yang menyerupai lorong panjang, tapi di dalamnya ada sel yang menyatu dengan fondasi bangunan. Saat musim hujan, bungker itu penuh air dengan kedalaman sekitar 50 cm. Setiap lorong bungker disekat-sekat dengan teralis seukuran manusia berdiri dengan arah saling berhadapan. Konon lorong itu tembus sampai Pelabuhan Tegalsari, sebuah pelabuhan tua di utara Kota Tegal.

Konon, gedung ini merupakan bangunan termegah kedua setelah Lawang Sewu atau kantor NIS Semarang.” Kata Wijanarto, peneliti sejarah Kota Pantai Utara. Menurut dia, gedung ini dibangun pada 1911 dan diresmikan pada 1913. Perancangnya adalah arsitek andal, Henri Maclaine pont, yang juga menantu Ir. J. Th Gerlings, Direktur SCS di Deen Haag. Sebelumnya, dia berhasil membangun Stasiun Tegal pada 1897.

Pembangunannya dilakukan oleh Europrrsche Architektuur in Indie, arsitek Eropa di negeri jajahan. Konsepnya adalah merespon lintasan matahari tropis dengan pola massa bangunan yang memanjang dari timur ke barat. “ dengan begitu, fasad sisi utara dan selatan kaya artikulasi arsitektural untuk menangkap cahaya dan ventilasi,”kata Wijanarto. Kontrak pembangunannya ditandatangani pada 1 November 1910 di Amsterdam untuk masa 3 tahun, oleh SCS, anak perusahaan NIS, yang memegang sonsesi pengelolaan jalar kereta api Anyer-Surabaya.

Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini diambil alih oleh Jepang dan digunakan untuk kantor Gunseikan atau kantor militer Jepang. Hal itu bisa dipahami karena didekat gedung ini ada Hotel Stoork untuk gudang senjata. “untuk mempermudah pengawasan senjata di Hotel Stoork,” ujar Wijanarto.

Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan gedung ini ada di bawah Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Bahkan halaman gedung yang luas ini pernah digunakan untuk menyimpan aspal dan alat berat milik Dinas Pekerjaan Umum.

Kepala Tata Usaha Stasiun Kereta Api Kota Tegal Susilo Budi Utomo mengaku tidak tahu kejelasan status pengelolaan gedung SCS yang sebenarnya menjadi milik PT Kereta Api Indonesia (KAI). “Pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Perhubungan dan Departemen Pendidikan,” katanya.

Dia menambahkan, PT KAI mengalihkan pengelolaan langsung di kantor Daerah Operasional IV di Semarang. Meski demikian, dia menyatakan gedung SCS disewa oleh Yayasan Universitas Panca Sakti (UPS) sebesar Rp 700 ribu per tahun, melalui kesepakatan antar Departemen di Jakarta.

Di depan gedung ini terdapat sebuah taman yang diapit oleh ruas jalan Pancasila. Pada masa colonial dulu, taman tersebut dijadikan sebagai tempat weekend dan pesta kebun bagi pejabat Pabrik Gula Jatibarang, Brebes, dan Pangkah, Kabupaten Tegal. Pemerintah Kota Tegal menyebutnya Taman Pancasila. Tapi warga Kota Tegal lebih mengenalnya sebagai Taman Poci. Maklum, di tempat itu, banyak warga dating setiap akhir pecan untuk santai bersama keluarga sambil menikmati the poci.

Belakangan, keberadaan SCS semakin tak dilirik orang. Yayasan UPS yang menyewanya sekitar 30 tahun lalu telah mengosongkan 18 ruangan di lantai dua dan tiga. Maklum, yayasan itu kini telah memiliki kampus, yang diresmikan pada Desember tahun lalu. Tapi bangunan depannya masih digunakan sebagai kantor rektorat. “gedung ini selalu ramai, meski kelihatan angker,” kata Muhammad Abduh, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat UPS.

Saat Tempo mencoba menikmati pemantauan di dalamnya, suasananya kurang nyaman. Di lantai dua dan tiga, bangunan yang kaya dengan ornamen ukiran kayu ini dipenuhi kotoran kelelawar. Aromanya kurang sedap.

Sebenarnya, Abduh betah berkantor di situ. “ Habis gimana lagi, di sini kan kita hanya minjam,” tuturnya. Yang jelas, di usianya yang kian renta, cagar budaya ini butuh perhatian dan uluran tangan. ****EDI FAISOL

di posting dari KORAN TEMPO  Jum’at, 20 Maret 2009

Tinggalkan komentar