Kenangan di Indonesia Buku [I:boekoe] Jakarta

Posted in Moment Penting on April 26, 2009 by gusmehnaan

Foto di Taman Monumen Merdeka

dscn00261

Saat pagi mulai menampakkan pancaran mentari, aku bersama temen-temen Team Riset Seabad Kebangkitan Nasional Indonesia Buku I: Iboekoe Jakarta, menyusuri kawasan Monumen Nasional, sekeder mengusir penat perjalanan Jogja-Jakarta di atas kereta ekonomi Progo.

Di Kafe Newseum

dscn0057

Selepas jalan-jalan dari Monas dan keliling Jakarta, sore harinya kita bersama temen-temen mengikuti Loncing buku Kronik Seabad Kebangkitan Nasional (1908-2008) di Kafe Newseum Jakarta, masih satu komplek Markas [I:boekoe]. acara ini antara lain di hadiri sejarawan Anhar Gong-gong dan Mantan Menteri Ekonomi B.J Sumarlin. Tampak kita sedang berpose memegang buku kronik raksasa yang memuat peristiwa penting medio 1908-2008.

dscn00421

Inilah para Kurator Projek Kronik Seabad Kebangkitan Nasional (1908-2008) I:boekoe saat berpose Taufik Rahzen, Muhiddin M. Dahlan dan B.J Sumarlin di Kafe Newseum

Tentang R.A KARTINI (1879-1904)

Posted in Biografi Tokoh on April 26, 2009 by gusmehnaan

kartini2

Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini, (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – wafat di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.

Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.

Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.

Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.

Makam R.A. Kartini di Bulu, Rembang.

makam_kartiniOleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka. Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, RM Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.


Surat-surat

Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.

Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru, dengan pembagian buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Dalam bahasa Inggris, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan Sunda.

Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini.

Pemikiran  Kartini

Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).

Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle “Stella” Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. “…Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu…” Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.

Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.

Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.

Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. “…Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin…” Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.

Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.

Buku-Buku Kartini

Habis Gelap Terbitlah Terang

habis_gelap_terbitlah_terangSampul buku versi Armijn Pane.
Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.

Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi. Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.
Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya

Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya Sulastin menerjemahkan Door Duisternis Tot Licht di Universitas Leiden, Belanda, saat ia melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972. Salah seorang dosen pembimbing di Leiden meminta Sulastin untuk menerjemahkan buku kumpulan surat Kartini tersebut. Tujuan sang dosen adalah agar Sulastin bisa menguasai bahasa Belanda dengan cukup sempurna. Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis Tot Licht pun terbit.

Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan judul Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Menurut Sulastin, judul terjemahan seharusnya menurut bahasa Belanda adalah: “Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsa Jawa”. Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang didamba sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa Indonesia.

Buku terjemahan Sulastin malah ingin menyajikan lengkap surat-surat Kartini yang ada pada Door Duisternis Tot Licht. Selain diterbitkan dalam Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin Sutrisno juga dipakai dalam buku Kartini, Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan Suaminya.

Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904
Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904. Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak hanya menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Joost Coté juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada Nyonya Abendanon-Mandri hasil temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté, bisa ditemukan surat-surat yang tergolong sensitif dan tidak ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Menurut Joost Coté, seluruh pergulatan Kartini dan penghalangan pada dirinya sudah saatnya untuk diungkap.

Buku Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904 memuat 108 surat-surat Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya JH Abendanon. Termasuk di dalamnya: 46 surat yang dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah, dan
Soematrie.

Panggil Aku Kartini Saja

samak_pangil_aku_kartini_sajaSampul Panggil Aku Kartini Saja.
Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan pada pemikiran Kartini juga diterbitkan. Salah satunya adalah Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer. Buku Panggil Aku Kartini Saja terlihat merupakan hasil dari pengumpulan data dari berbagai sumber oleh Pramoedya.

Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya
Akhir tahun 1987, Sulastin Sutrisno memberi gambaran baru tentang Kartini lewat buku Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya. Gambaran sebelumnya lebih banyak dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis untuk Abendanon, diterbitkan dalam Door Duisternis Tot Licht.

Kartini dihadirkan sebagai pejuang emansipasi. Dalam kumpulan itu, surat-surat Kartini selalu dipotong bagian awal dan akhir. Padahal, bagian itu menunjukkan kemesraan Kartini kepada Abendanon. Banyak hal lain yang dimunculkan kembali oleh Sulastin Sutrisno.

Aku Mau … Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903
Sebuah buku kumpulan surat kepada Stella Zeehandelaar periode 1899-1903 diterbitkan untuk memperingati 100 tahun wafatnya. Isinya memperlihatkan wajah lain Kartini. Koleksi surat Kartini itu dikumpulkan Dr Joost Coté, diterjemahkan dengan judul Aku Mau … Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903.

“Aku Mau …” adalah moto Kartini. Sepenggal ungkapan itu mewakili sosok yang selama ini tak pernah dilihat dan dijadikan bahan perbincangan. Kartini berbicara tentang banyak hal: sosial, budaya, agama, bahkan korupsi.

Kontroversi

Ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhum Sulastin Sutrisno, jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.

Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan berbagai alasan lainnya.

Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.

Di posting dari Wikipedia.com

Feature Sejarah

Posted in News Feature on April 26, 2009 by gusmehnaan

Minggu, 26 April 2009

Contoh Feature Sejarah

Simbol Kejayaan Transportasi Masa Kolonial
Kini menjadi sarang kelelawar dan burung hantu.

Gedung tua di ujung Jalan Pancasila, Kota Tegal, ini masih kokoh berdiri. Halamannya berumput hijau, tumbuh merata. Tampak pula beberapa pohon Akasia di sekitarnya sehingga area itu tampak asri dari luar. Tapi, begitu masuk ke dalam, ada kesan seram. Apalagi di lantai dua dan tiga, bulu kuduk bisa merinding. Dua lantai itu menjadi sarang kelelawar dan burung hantu.

Sesungguhnya, bangunan ini bagus, tapi tak terurus. Pemerintah daerah binggung bagaimana mengurusnya. “Kami sulit (mencari) tim ahli untuk menentukan apakah gedung tersebut layak dijadikan cagar budaya atau tidak,”kata Akur Sujarwo, Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Pemuda Olah raga dan Pariwisata Kota Tegal.

Akur hanya pasrah saat Kepala Kantor Wilayah Museum dan Purbakala Jawa Tengah mengirim surat imbauan penyelamatan cagar budaya pada 1998. “Pemkot sendiri belum memiliki perda untuk melindungi keberadaan gedung tua,” katanya.

Tembok bangunan itu bercat putih, sarat ornamen propel. Sayang, sebagian dindingnya sudah berlumut. Tak banyak orang yang tahu bahwa gedung ini pernah menjadi symbol kejayaan transportasi di masa Kolonial Belanda, Yakni sebagai Kantor Biro Semarang-Cheribon Stoomtram Matschappij (SCS), di bawah perusahaan Nederland Indice Sporing (NIS) .

Di bawah bangunan ini ada bungker yang menyerupai lorong panjang, tapi di dalamnya ada sel yang menyatu dengan fondasi bangunan. Saat musim hujan, bungker itu penuh air dengan kedalaman sekitar 50 cm. Setiap lorong bungker disekat-sekat dengan teralis seukuran manusia berdiri dengan arah saling berhadapan. Konon lorong itu tembus sampai Pelabuhan Tegalsari, sebuah pelabuhan tua di utara Kota Tegal.

Konon, gedung ini merupakan bangunan termegah kedua setelah Lawang Sewu atau kantor NIS Semarang.” Kata Wijanarto, peneliti sejarah Kota Pantai Utara. Menurut dia, gedung ini dibangun pada 1911 dan diresmikan pada 1913. Perancangnya adalah arsitek andal, Henri Maclaine pont, yang juga menantu Ir. J. Th Gerlings, Direktur SCS di Deen Haag. Sebelumnya, dia berhasil membangun Stasiun Tegal pada 1897.

Pembangunannya dilakukan oleh Europrrsche Architektuur in Indie, arsitek Eropa di negeri jajahan. Konsepnya adalah merespon lintasan matahari tropis dengan pola massa bangunan yang memanjang dari timur ke barat. “ dengan begitu, fasad sisi utara dan selatan kaya artikulasi arsitektural untuk menangkap cahaya dan ventilasi,”kata Wijanarto. Kontrak pembangunannya ditandatangani pada 1 November 1910 di Amsterdam untuk masa 3 tahun, oleh SCS, anak perusahaan NIS, yang memegang sonsesi pengelolaan jalar kereta api Anyer-Surabaya.

Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini diambil alih oleh Jepang dan digunakan untuk kantor Gunseikan atau kantor militer Jepang. Hal itu bisa dipahami karena didekat gedung ini ada Hotel Stoork untuk gudang senjata. “untuk mempermudah pengawasan senjata di Hotel Stoork,” ujar Wijanarto.

Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan gedung ini ada di bawah Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Bahkan halaman gedung yang luas ini pernah digunakan untuk menyimpan aspal dan alat berat milik Dinas Pekerjaan Umum.

Kepala Tata Usaha Stasiun Kereta Api Kota Tegal Susilo Budi Utomo mengaku tidak tahu kejelasan status pengelolaan gedung SCS yang sebenarnya menjadi milik PT Kereta Api Indonesia (KAI). “Pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Perhubungan dan Departemen Pendidikan,” katanya.

Dia menambahkan, PT KAI mengalihkan pengelolaan langsung di kantor Daerah Operasional IV di Semarang. Meski demikian, dia menyatakan gedung SCS disewa oleh Yayasan Universitas Panca Sakti (UPS) sebesar Rp 700 ribu per tahun, melalui kesepakatan antar Departemen di Jakarta.

Di depan gedung ini terdapat sebuah taman yang diapit oleh ruas jalan Pancasila. Pada masa colonial dulu, taman tersebut dijadikan sebagai tempat weekend dan pesta kebun bagi pejabat Pabrik Gula Jatibarang, Brebes, dan Pangkah, Kabupaten Tegal. Pemerintah Kota Tegal menyebutnya Taman Pancasila. Tapi warga Kota Tegal lebih mengenalnya sebagai Taman Poci. Maklum, di tempat itu, banyak warga dating setiap akhir pecan untuk santai bersama keluarga sambil menikmati the poci.

Belakangan, keberadaan SCS semakin tak dilirik orang. Yayasan UPS yang menyewanya sekitar 30 tahun lalu telah mengosongkan 18 ruangan di lantai dua dan tiga. Maklum, yayasan itu kini telah memiliki kampus, yang diresmikan pada Desember tahun lalu. Tapi bangunan depannya masih digunakan sebagai kantor rektorat. “gedung ini selalu ramai, meski kelihatan angker,” kata Muhammad Abduh, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat UPS.

Saat Tempo mencoba menikmati pemantauan di dalamnya, suasananya kurang nyaman. Di lantai dua dan tiga, bangunan yang kaya dengan ornamen ukiran kayu ini dipenuhi kotoran kelelawar. Aromanya kurang sedap.

Sebenarnya, Abduh betah berkantor di situ. “ Habis gimana lagi, di sini kan kita hanya minjam,” tuturnya. Yang jelas, di usianya yang kian renta, cagar budaya ini butuh perhatian dan uluran tangan. ****EDI FAISOL

di posting dari KORAN TEMPO  Jum’at, 20 Maret 2009

Resensi Pergerakan Perempuan

Posted in Resensi Buku on April 26, 2009 by gusmehnaan

RESENSI  BUKU

Minggu, 26 April 2009

Titik Awal Pergerakan Kaum Perempuan Nusantara

kongres-perempuanJudul Buku :Kongres Perempuan Pertama; Sebuah Tinjauan Ulang
Penyusun :Susan Blackburn
Penyunting :Monique Soesman
Penerbit :Yayasan Obor Indonesia & KITLV Jakarta
Cetakan :I, April 2007
Tebal Buku :xIix + 256 halaman
Peresensi :Minan Nuri Rohman***)

Kongres perempuan pertama yang dilaksanakan pada tanggal 22-25 Desember 1928 menjadi tonggak awal sejarah kebangkitan perempuan Indonesia dalam menentukan posisi mereka dan sekaligus menuntut hak kesetaraan atas kaum laki-laki dan perubahan universal lainnya. Beragam persoalan terkait dengan masalah perkawinan anak , perceraian, gender, hak serta kewajiban kaum istri dan lain sebagainya terangkum dalam kongres perempuan selama 3 hari itu. Pada awalnya, mereka merasa pesimis akan terselenggaranya kongres tersebut, menginggat posisi perempuan pada waktu itu masih dalam subordinat kekuasaan kaum laki-laki yang memegang kekuasaan sepenuhnya. Melalui semangat yang menggelora tinggi untuk memperjuangkan nasib kaum perempuan, akhirnya kongres perempuan pertama yang dilaksanakan di Gedung Mandala Bhakti wanitatama Yogyakarta itu menjadi titik awal pergerakan kaum perempuan menuju perubahan masa depan bangsa yang dicita-citakan.

Kongres perempuan pertama ini diselenggarakan tidak lama setelah peristiwa Sumpah Pemuda diikrarkan, hanya selang kurang lebih dua bulan (28 Oktober 1928). Ini artinya, semangat kaum perempuan memperjuangkan hak kaum perempuan dari keterkungkungan dominasi laki-laki serta kebijakan sepihak pemerintah kolonial saat itu betul-betul teruji. Bahkan dari sekian pembahasan yang di kaji pada waktu itu sampai sekarang masih relevan dan terus diupayakan titik temu solusi pemecahannya, seperti masalah gender, poligami, kesehatan reproduksi perempuan, perkawinan dan perceraian, diskriminasi perempuan, dominasi laki-laki serta masalah-masalah lainnya terkait mediasi inferioritas kaum perempuan atas laki-laki dll sekarang masih diperbincangkan.

Dalam kongres tersebut, sekitar 1.000 peserta tampak memadati ruang resepsi pembukaan kongres yang terdiri dari berbagai kalangan aktifis organisasi perempuan Nusantara dan organisasi non perempuan, seperti Organisasi Budi Utomo diwakili oleh Mr. Singgih dan Dr. Soepomo, dari PNI Mr. Soejoedi, sedangkan wakil dari PSI adalah Dr. Soekiman. Ketua Walfajriah, A.D. Haani, yang sayap perempuannya dikenal cukup radikal, saat itu tampak hadir pula memberikan dukungannya dalam acara resepsi pembukaan kongres perempuan pertama tersebut (hal xi).

Keanekaragaman sejumlah organisasi yang ikut berpartisipasi dalam kongres tersebut memperlihatkan semangat membara dalam jiwa kaum perempuan dalam menuntut tercapainuya kemerdekaan dalam berbagai sektor penting melalui sebuah ikatan organisasi. Hal ini tidak bisa dipungkiri, bahwa kaum perempuan sebenarnya memiliki progresifitas futuristik menuntut terwujudnya eksistensinya ditengah kehidupan global sebagai bagian penting yang tak bisa dipisahkan. Para aktifis perempuan dalam kongres tersebut sudah sangat berani berdebat dan berargumentasi dalam mempertahankan pendirian mereka masing-masing. Perbedaan pendapat dalam kongres tersebut juga terlihat intern organisasi islam dalam berbagai diskusi dan berlangsung cukup alot. Sebagian ada organisasi islam yang kukuh tidak bersedia melakukan pembaharuan atau perubahan-perubahan terkait dengan isu perempuan islam. Tetapi, ada pula organisasi islam lainnya yang berfikir sangat maju (progresif) seperti JIBNA, sayap perempuan Sarikat Islam dan Natdatoel Fataat yang menggusung adanya perubahan menghendaki terwujudnya pembaharuan dalam mengangkat status perempuan pribumi (hal xii).

Dari perjalanan kongres perempuan pertama di Jogjakarta waktu itu lebih banyak membahas dan menekankan pentingnya pendidikan modern bagi perempuan muda, disatu sisi mereka tidak sepakat dengan konsep pendidikan barat yang terlalu progresif dan dianggap berpotensi merusak kaum muda. Disisi lain mereka menunjukkan sikap pro terhadap konsep pendidikan barat sebagaimana diusung oleh Ny. Gunawan dan Ny. Titi Sastroamidjoyo yang waktu itu baru saja pulang dari Negeri Belanda, setelah beberapa tahun tinggal disana bersama suaminya. Keduanya memberi pandangan tentang apa yang perlu dipuji dan apa yang perlu dicela dalam kehidupan kaum perempuan di Eropa. Seperti masalah kebersihan, kemajuan dan kemandirian kaum perempuan perlu dikagumi. Namun, disisi yang lain masalah feminisme perempuan di Eropa telah melangkah terlalu jauh sehingga mereka menggabaikan kawajiban utama sebagai seorang istri dalam ikatan perkawinan. Oleh karena itu, harus ada sikap penyesuaian menurut tindak laku dan watak perempuan indonesia yang berkiblat pada budaya Timur (islam).

Upaya Rekonstruksi
Kini saatnya generasi perempuan mulai bangkit menyusun strategi barisan gerakan perempuan untuk mewujudkan tercapainya cita-cita luhur sebagaimana telah digagas dalam kongres pertama di Jogjakarta oleh R.A Soekanto, Nyi Hadjar Dewantoro dan ibu Soejatin Dkk. Beragam problematika seputar perempuan seperti KDRT (Kekerasaan Dalam Rumah Tangga), Gender (kesetaraan terhadap hak dan kewajiban perempuan), dominasi laki-laki dan perlakuan perempuan sebagai obyek dari setiap permasalahan intern-ekstern keluarga belum juga selesai untuk digarap sampai saat ini. Spirit dan gebrakan-gebrakan revolusioner menciptakan iklim persamaan hak dan kewajiban tampaknya sedikit mulai terlihat seperti apa yang dilakukan oleh aktifis perempuan Ibu Sinta Nuriyah Abdurahman Wahid, melalui Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) mencoba melakukan reinterpretasi buku-buku (kitab) kuning yang biasanya dipakai pondok pesantren yang sebagian besar mendeskriditkan peran perempuan terutama dalam hubungan suami-istri.

Melalui semangat persatuan organisasi-organisasi perempuan di seluruh Nusantara inilah, akan muncul perubahan baru dalam merekonstruksi tatanan peran dan fungsi perempuan menjadi lebih baik dan bermartabat dimata dunia global. Perempuan tidak lagi dinomorduakan atau bahkan diperlakukan kasar secara fisik maupun psikologis, mereka mempunyai hak dan kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki lainnya, baik dalam sektor formal maupun nonformal.

Buku ini merupakan hasil tinjauan ulang yang dilakukan oleh Susan Blackburn (seorang peneliti asal Australia) yang menaruh perhatiannya atas peristiwa kongres perempuan pertama tahun 1928 itu. Awalnya pada tahun 1993, Susan Blackburn dari Australia melakukan penelitian di Indonesia, ia menemukan fotocopy majalah “ISTRI” yang merupakan cikal bakal hasil kongres pada waktu di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Kemudian ia menyalin naskah tersebut sesuai dengan bahasa aslinya supaya tetap terjaga keasliannya. Buku ini berisi tentang naskah-naskah pidato para pembicara yang disampaikan pada acara kongres tersebut, dalam buku ini juga berisi hasil kesepakatan-kesepakatan dari rumusan-rumusan permasalah yang telah dikaji selama 3 hari itu (hal 11-245).

Buku ini sangat penting dan wajib dibaca oleh generasi muda Indonesia saat ini supaya roh spirit para aktivis tahun 1920-an tetap membara, dan perjuangan untuk mendapatkan hak-haknya benar-benar menjadi kenyataan, sehingga perempuan tidak lagi tertindas, namun berdiri tegak setara dengan kaum laki-laki. Selamat Membaca.

***)Peresensi Adalah Pemerhati Masalah Perempuan dan Genger, Aktifis pada Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY).

Tulisan ini diambil dari Seputar-Indonesia.Com. di muat pada  Minggu, 23 Desember 2007

Resensi Buku 2009

Posted in Resensi Buku on April 26, 2009 by gusmehnaan

Minggu, 19 April 2009
Ulasan Buku

Kitab Cinta Legendaris

cover-rc2Judul buku : Risalah Cinta
Penulis : Ibn Hazm Al-Andalusi
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : I, Februari 2009
Tebal : 304 halaman
Peresensi :Minan Nuri Rohman***)

ANDA yang lelaki, pernahkah mengalami getaran hati dahsyat, perasaan senang mendalam setelah bertemu atau baru saja kenal seorang perempuan? Pasti dia selalu hadir dalam angan. Setiap saat.

Cinta, memang tema yang tak pernah habis diperbincangkan, dinyanyikan dalam lagu-lagu, dikisahkan dalam berbagai novel dan cerita pendek, diekspresikan dalam puisi dan tari, atu digumamkan dalam doa.

Cinta juga kadang-kadang susah dijelaskan dengan kata-kata dan dirasionalkan dengan akal logika. Tapi begitulah cinta: misterius. Tidak seorang pun tahu rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Karena cinta muncul secara alamiah, anugrah Tuhan sang Maha Pencipta.

Inilah salah satu buku terindah sepanjang masa tentang cinta. Sebuah kitab legendaris tentang seni mencinta tulisan seorang pujangga agung dan ulama besar pada zamannya, Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm, yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Hazm Al-Andalusi (384 H/994 M). Dia adalah seorang ilmuwan yang menguasai berbagai disiplin ilmu: fiqih, tafsir, hadits, ushul fiqih, kalam, mantiq, kedokteran, sastra, dan sejarah. Buku ini terasa tidak pernah kehilangan relevansinya bagi siapa pun yang mencari hakikat, seni, dan lika-liku dalam mencinta.

Buku yang berjudul asli Thauq Al-Hamamah fi Ilfah wa Al-Ullaf (Dar Al-Maíarif: 1993) ini, terdiri atas 30 bab pembahasan seputar cinta. Sepuluh bab pertama merefleksikan hakikat cinta dan benih-benih yang memupuk tumbuhnya cinta. Sementara dua puluh bab terakhir membahas proses berseminya cinta, kesucian cinta, dan konflik di dalamnya. Pada bab terakhir, penulis secara reflektif membahas keheningan cinta dan solusi pemecahannya.

Dalam pembahasan bab pertama, Abu Muhammad -demikian julukan Ibn Hazm Al-Andalusi, menguraikan hakikat cinta, yang tak lain merupakan anugrah Tuhan bagi seluruh makhlukNya. Semua makhluk hidup, termasuk binatang dan tumbuhan membutuhkan belaian cinta kasih sayang. Menurutnya, cinta memiliki makna yang sangat dalam, indah, dan agung. Tiada kata yang mampu melukiskan keindahan cinta dan keagungannya. Hakikat cinta tidak dapat ditemukan selain kesungguhan pengamatan dan penjiwaan terdalam. Karena cinta adalah urusan hati, dan hati merupakan transendensi Ilahiah (hal. 27).

Betapa dahsyatnya kekuatan energi cinta. Ia mampu membuat jiwa menjadi tenteram dan damai. Secara naluriah-biologis, makhluk hidup sejatinya merindukan ruang ketenteraman dan kedamaian jiwa. Hal ini senada dengan penciptaan Hawa sebagai pasangan Adam di tatkala lelaki itu merasakan kesunyian.

Berpasangan

Tuhan menciptakan makhluknya secara berpasang-pasangan (azwaaja). Laki-laki berpasangan dengan perempuan, malam dengan siang, matahari dengan rembulan, dan sifat baik dengan sifat buruk.

Semua serbaberpasangan. Walau pada kenyataannya mereka adalah dua entitas yang memiliki persamaan dan perbedaan. Namun, setitik kesamaan antara keduanya mampu menjadi ”tali penghubung” untuk tetap bersama, menjaga keseimbangan.

Kecintaan seorang terhadap pasangannya mengalir secara alamiah. Tak ada paksaan. Tak ada kontrak khusus untuk saling mencinta. Maka itulah yang disebut cinta suci. Ia bersemayam dalam jiwa yang paling dalam. Cinta seperti ini tak akan sirna, kecuali ajal datang menjemputnya. Berbeda dengan cinta yang dilandasi oleh ”sebab” tertentu. Karena harta, kecantikan, atau kedudukan misalnya. Cinta seperti ini sifatnya temporal. Ia akan luntur seiring lunturnya ”sebab” yang melandasinya.

Sejatinya dulu, para khalifah dan kebanyakan imam terkemuka di Andalusia, pernah punya kisah cinta. Di antaranya, kisah cinta Al-Muzhaffar ëAbdul Malik bin Abu ëAmir, seorang pembesar pemerintahan Andalusia, dengan Wajidah, putri seorang tukang kebun. Cinta keduanya terus bersemi hingga berlanjut ke pelaminan. Selepas pemerintahan Al-Manshur bin Abu ëAmir dan anak-anaknya runtuh, Wajidah dinikahi seorang menteri kerajaan bernama ëAbdullah bin Maslamah. Setelah dia mati terbunuh, Wajidah kemudian dinikahi oleh seorang pemimpin Berber (hal 28).

Ya, cinta sejatinya memiliki karakter kuat, konsisten, tegar, dan tidak mudah terombang-ambing oleh badai yang menguji kesetiaannya. Cinta Romeo-Juliet dan Laila Majnun menjadi simbol konsistensi ikatan cinta suci di antara keduanya. Walau batu sandungan kerap menghalangi perjalanan cinta keduanya, toh pada akhirnya mereka teguh mempertahankan konsistensi cinta keduanya. Kala ikatan yang terjalin di antara mereka sebagai ikatan suci tanpa tendensi ”sebab” yang melatarbelakanginya, maka ia akan tetap bersemi awet selamanya.

Kalau diilustrasikan, cinta itu seperti dua gambar mata uang koin: tampak sama tapi jelas berbeda. Satu sisi, cinta kadang membuat perasaan hati girang, tertawa. Di sisi lain, cinta kadang membuat hati pilu, meronta.

”Cintailah kekasihmu sepantasnya, siapa tahu ia menjadi manusia paling kau benci kemudian hari,” tutur seorang Pujangga Arab.

Peresensi adalah Mahasiswa Sastra Arab Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Anggota Jalan Sunyi (Jees Community)

Tulisan ini telah di Posting dari Surat Kabar Harian Suara Merdeka, dimuat tanggal 19 April 2009

Posted in Resensi Buku on April 26, 2009 by gusmehnaan

Edisi 31 Desember 2007
U L A S A N

Pesan Cinta Cak Nun

Resensi BukuJudul : Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki
Pengarang : Emha Ainun Najib
Penerbit : Penerbit Kompas, Jakarta
Cetakan : September 2007
Tebal : vi+ 258 halaman

Perjalanan hidup Cak Nun, sapaan akrab bagi budayawan Emha Ainun Najib, mengembara bersama Kiai Kanjeng dari satu tempat ke tempat lain untuk menyambangi semua lapisan masyarakat, dari birokrat, elite politik, intelektual, berbagai penganut agama, pelacur, petani hingga kaum marginal lain.
la mengajarkan akan pentingnya sikap terbuka dan menjalin kebersamaan demi terciptanya nasionalisme bangsa yang utuh. Kompleksitas masalah bangsa yang saat ini semakin runcing seakan menusuk ulu hati hak rakyat kecil, terlebih buruh tani dan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Hal ini kemudian turut menjadi sorotan Cak Nun dengan solusi bijak tanpa terkesan menggurui kepada siapapun. Cak Nun beserta Kiai Kanjeng selalu hadir menghampiri mereka dengan kado pesan cinta menuju spirit kehidupan bangsa yang damai dan sejahtera.
Bahasa kebudayaan dan sikap terbuka untuk semua kalangan ini merupakan arus utama yang menjadi ciri khas Cak Nun dalam berdakwah. Tanpa melihat warna agama dan stratifikasi kelas masyarakat, semua berhak mendapatkan kado cinta kasih Cak Nun, menuju perubahan bangsa yang ayem dan tentrem tanpa saling curiga mencurigai antara satu dengan lainnya.
Carut marut bangsa dengan beragam persoalan, seperti kasus lumpur panas Lapindo Sidoarjo, klaim sesat terhadap suatu aliran kepercayaan, kemiskinan, korupsi, kontroversi kesenian Reog ala Malaysia dan seabrek masalah lainnya muncul tidak lain karena lemahnya rasa cinta kasih antarsesama dan terkikisnya nasionalisme bangsa oleh keserakahan nafsu ingin menang sendiri dan tidak memperdulikan hak-hak kaum tertindas, kaum fakir miskin dan yatim piatu yang tersebar di setiap sudut kota.
Melalui cinta kasih kepada sesama dan Ilahi, Cak Nun mengajak semua lapisan kalangan untuk senantiasa saling berjabat tangan, merangkul satu dengan lainnya, menuju cinta keabadian semesta.
Jangan sampai ada kecemburuan dan rasa penderitaan di antara mereka. Semua adalah saudara yang harus selalu dibantu dengan berbagai kekuatan yang kita miliki.
Bagi yang mempunyai harta benda, maka sisihkan sebagian untuk mereka yang selalu membutuhkan uluran tangan kita. Bagi yang mempunyai wawasan luas dan pendidikan tinggi, bimbing mereka selalu yang tenggelam dalam arus kebodohan menuju cahaya pengetahuan.
Bagi Anda yang mempunyai kekuasaan atau jabatan, maka jangan berbuat sewenang-wenang, korupsi dan menelantarkan nasib rakyat miskin. Mereka pada hakikatnya sama dengan kita sebagai satu atap jalinan saudara yang tak terpisahkan. Mereka memiliki hak dan pembelaan yang harus selalu kita perhatikan.
Melalui buku ini, saya melihat Cak Nun mencoba memberi jalan untuk memasuki lorong kesadaran yang paling dalam (kepada sesama) yang selama ini telah tergerus oleh nafsu-nafsu serakah mementingkan diri sendiri.
Melalui buku ini pula, layak kita merefleksikan semangat membangun keutuhan bangsa demi terciptanya nasionalime bangsa yang kuat, apalagi akhir-akhir ini santer terdengar kabar bahwa kesenian Nusantara sedikit demi sedikit mulai dicaplok oleh negara lain.
Hal ini mengindikasikan bahwa roh nasionalisme bangsa kita ternyata telah rapuh, dengan tega “menggadaikan” identitas bangsa demi kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu. Akankah kita selalu diam membisu, merunduk, tidak melakukan pembelaan terhadap masalah yang saat ini menimpa bangsa kita, bumi di mana kita dilahirkan dan dibesarkan dengan corak seni budaya serta kekayaan alam yang sangat melimpah.
Dalam menggambarkan realitas “gelap gulita” bangsa kita saat ini, misalnya, Cak Nun membahasakannya dengan “gerhana rembulan”. Cahaya matahari tertutup secara menyeluruh oleh bumi, sehingga malam menjadi gelap karena bulan tidak bisa memantukan cahaya matahari. Kita saat ini telah memasuki gerbang reformasi, era perubahan menyongsong cita-cita bangsa yang sesungguhnya, tapi hal ini justru tidak menampakkan penataan yang jelas. Fenomena yang terjadi adalah “nafsu bumi”, di mana cahaya matahari tidak merasuk di ubun-ubun manusia, bahkan ditutupi oleh keserakahan “hawa nafsu” mereka (hal 139-140).
Situasi pengkhianatan di tubuh reformasi malah menjadi pahlawan yang selalu disanjung-sanjung. Pantulan cahaya Tuhan (rahman-rahim) yang semestinya menerangi seluruh permukaan jagad bumi malah tertutup oleh hijab kebusukan, keserakahan dan egoisitas.
Kebenaran menjadi sesuatu hal yang naif, diejek-ejek, dihardik dan difitnah di sana-sini. Rakyak miskin semakin bertambah miskin, tidak ada perubahan yang pasti, sedangkan yang kaya tetap mempertahankan kekayaannya dengan terus mengeksploitasi hak-hak rakyat miskin dan anak-anak yatim piatu yang tidak bersalah.
Situasi malam “gerhana rembulan” semakin menjadi gelap dan sunyi, karena yang satu dengan yang lainnya tidak saling mengenal dan menyapa. Mereka hanya mementingkan diri sendiri (egois), tidak perduli dengan sesama, bahkan tega melupakan saudaranya yang lain.
Bangsa ini membutuhkan orang-orang yang mampu memberikan pantulan cinta kasih Tuhan kepada semua manusia tanpa ada diskriminasi, egoisitas dan sikap tak acuh terhadap sesama.
Kemesraan cinta kepada semua lapisan masyarakat (tanpa melihat kamu siapa, dari mana Anda, kelompokmu apa dan lainnya) akan senantiasa terwujud manakala terjadi jalinan kasih kebersamaan tanpa ada rasa saling membenci dan mencurigai antara satu dengan lainnya. Bukankah Tuhan menciptakan manusia di penjuru jagad raya ini untuk senantiasa saling “mengenal”, menjalin persahabatan demi terwujudnya perdamaian universal di muka bumi?
Buku ini merupakan kompilasi esai-esai Cak Nun yang telah dipublikasikan di harian Kompas. Sayang, penataan temanya tidak sistematis, sehingga terlihat pembahasan yang menclat-menclat, tidak ada kaitan antara tema satu dengan tema lainnya. Tapi, bahasanya khas dan lentur, sarat akan solusi bijak pada setiap permasalahan yang ada, sehingga membuat kita menikmati celetusan Cak Nun dalam menyikapi masalah bangsa yang semakin kompleks ini.


Minan Nuri Rohman, pengelola Taman Baca “Kutub” Yogyakarta.

di ambil dari  Ruang Baca Koran Tempo edisi Desember 2007

Catatan Awal di Jogja

Posted in Cacatan Harian on April 14, 2009 by gusmehnaan

Jogja di Kedua Bola Mataku

(Sebuah Catatan Perjalanan Hidup)

By: Minan Nuri  Rohman***)

Tak terasa perjalanan hidup di kota Jogja telah ku lalui selama kurang lebih 3 tahun. Selama itu pula banyak hal baru yang telah ku dapat dan rasakan. Perjumpaanku dengan sejumlah manusia dari berbagai daerah, ragam etnis, budaya, bahasa dan karakter yang berbeda-beda, membuat hidup terasa berwarnai. Ya, semakin berwarna-warni seperti indahnya pelangi kala muncul di pagi hari. Keberadaanku di Jogja merupakan anugrah Tuhan. Juga tak lepas dari motivasi Bapak dan Ibu serta famili di rumah. Terima kasih Tuhan, Thank’s Bapak, Ibu, kakak dan adik-adikku. Kalianlah cahaya penunjuk hidupku, walaupun cahayanya tidak terlalu terang, namun itu sangat berarti bagi hidupku. Melalui goresan pena perjalanan hidup selama di Jogja, semoga ini menjadi sebuah persembahan yang kelak bermanfaat. Amin………………

Raut muka kegembiraan tiga tahun yang lalu (2005), saat pengumuman kelulusan Ujian Nasional (UN) menyatakan namaku diantara para siswa-siswi yang lulus, masih aku rasakan hingga kini. Moment itu terasa lekat membalut kesadaraan ingatanku. Alhamdulillah, Aku dan kawan-kawan Jurusan Keagamaan (MAK Hasyim Asy’ari Bangsri-Jepara) semuanya dinyataka najah fi imtihan an niha’i.

Kelulusan itu pula yang kemudian menjadi jurang pemisah ikatan persahabatan kami yang telah terbangun tiga tahun lamanya (2002-2005). Karena pasca itu, kami harus memilih jalan masing-masing sesuai cita-cita yang terukir.

***

Aku sangat bersyukur mempunyai orang tua yang mempunyai perhatian terhadap anaknya. Bapak dan ibu, walaupun hanya lulusan pendidikan guru agama (PGA) Kudus, namun keduanya optimis melihat anaknya kelak berhasil menjadi manusia-manusia sukses. Itulah cita-cita mulia Bapak dan Ibu yang selalu ku ingat sebelum pilihan menentukan aku melanjutkan studi di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Melalui kepribadian bapak, aku belajar hidup fleksibel. Melalui ibu, aku belajar konsisten (istiqomah). Dua karakter yang dimiliki bapak dan ibu ini, sebisa mungkin dapat aku tiru. Setidaknya melalui merekalah, ridho Tuhan akan senantiasa merestui perjalanan hidupku.

Bapak adalah sosok orang tua yang tidak menggekang anaknya untuk menggapai masa depan kelak. Sedangkan ibu, Sosok yang selalu memberi motivasi dan arahan, tapi maaf, “agak mengguruai”. Barangkali ini merupakan bentuk pilihan-pilihan yang diberikan keduanya untukku. aku dipersilahkan melanjutkan kuliah sesuai pilihanku. Akhirnya, sampai juga aku di Kota Jogjakarta.

Senin, 11 Juli 2005 adalah awal aku melangkahkan kedua kakiku di kota Jogja. Dengan ditemani seorang kawan yang juga telah kuliah di UIN, aku diantar untuk mendaftar sebagai calon mahasiswa UIN Fakultas Adab Jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Sambil menunggu waktu ujian tulis tiba, aku tinggal di tempat koz kawanku di Jalan Papringan Ori III. Di sanalah aku mempersiapkan segala sesuatunya untuk menghadapi materi ujian masuk pada tanggal 26 Juli 2005. keesokan harinya, aku pulang ke Jepara bersama kawanku tadi.

Penggumuman hasil ujian akan dipublikasikan melalui koran Kedaulatan Rakyat dan Via SMS pada tanggal 14 Agustus 2005. Selama kurang lebih tiga Minggu dirumah, aku mempersiapkan mental untuk merantau ke Jogjakarta. Kala itu image masyarakat di sekitar kampungku tentang Jogja sangat negatif. Free Sex dan pergaulan bebas menjadi stereotipe gaya hidup mahasiswa dan pelajar jogja. Apalagi, saat itu UIN telah dicap sebagai institusi yang melahirkan para kaum murtaddin, melalui kehadiran buku “Ada Pemurtadan di IAIN”,karya Hartono Ahmad Jaiz (Alumni BSA Fak. Adab UIN Sunan Kalijaga). Para tetangga sekitar rumah selalu mewanti-wanti agar aku bisa berhati-hati saat berada di Jogja.

Hari Sabtu, 20 Agustus 2005, aku pamit meninggalkan rumah (sendirian) ke Jogja untuk keperluan registrasi dan Kuliah di UIN Suka. Perasaan senang bercampur duka menghiasi sudut hati, terasa pilu merasakannya. Linangan air mata tiba-tiba merubah suasana halaman rumah menjadi sunyi. Jerit tawa dan kebahagiaan anak-anak TK TA Ainul Hidayah─depan rumah─ yang akan berpose di atas mobil karnafal seakan tak mampu menahan perak air mata yang sedikit demi sedikit mulai jatuh berguguran di tanah. Dalam kesunyiaan itu, ku raih tangan ibu dan ku cium seraya memohon restu. Tak ada pesan yang tersirat kala itu selain linangan air mata yang berguguran semakin derasnya. Tidak mau menambah sedih ibu, aku pun perlahan meninggalkannya.

Laju motor yang tak terlalu cepat ketika masih di area halaman rumah, memaksaku melihat wajah ibu untuk yang terakhir kalinya, siapa tahu ada pesan yang hendak disampaikan kepadaku.Ternyata tak kudapatkan sepatah kata apa pun dari ibu, ia diam membisu tak ada satu kata pun yang keluar darinya, hanya lambaian tangan yang kulihat serta perak air matanya yang semakin menghujan deras. Sebuah lambaian yang bermakna do’a restu dan perak air mata yang seakan berpesan agar hati-hati di kota tujuan. Setelah sampai di jalan raya, motor berhenti. Aku dan bapak turun. Tidak seperti ibu, bapak tampak tegar merestui kepergianku ini. Beliau berpesan agar hati-hati di jalan dan menghubungi rumah jika telah sampai Jogja. Dengan penuh keyakinan aku katakan, “Jangan khawatir Pak, aku akan baik-baik saja dan akan selalu menghubungi keluarga di rumah”. Kataku dengan sedikit bijak.

Ku raih tangan bapak, ku cium seraya mengharap do’a restunya…………

***

Enam jam lebih perjalananku Jepara-Jogja. Jam menunjukkan pukul 16.00 WIB tatkala bus kota berhenti di depan musium Afandi, di Jalan Laksda Adisucipto. Aku pun menuju sebuah asrama mahasiswa “Minhajul Muslim” di Komplek kampus UIN Suka. Tak satu orang pun yang aku kenali, satu-satunya kawan temanku yang dulu pernah diperkenalkan kepadaku, ternyata pulang kampung. Aku pun jadi lingkung seperti orang binggung, yang tak kenal siapa-siapa.

Beberapa hari aku dijogja, ku sempatkan main di base came komunitas Jepara (MASKARA) di Wisma Ukir Jepara Jalan Bimokurdo no 47. sejak itulah, aku jumpai banyak teman-teman dari daerah asal (Jepara) yang juga kuliah di UIN. Aku tinggal beberapa hari di base came Jepara. Kemudian kembali ke asrama mahasiswa “Minhajul Muslim” kurang lebih 1 tahun aku di sana.

***

Gempa 27 Mei 2006 menyisakan duka teramat bagi warga Jogja–Jateng dan sekitarnya. Gempa berkekuatan 5,9 Skala Richer itu telah meluluh lantahkan sejumlah tempat kos sekitar asramaku. Alhamdulillah waktu itu aku selamat dan bangunan asrama tidak roboh sedikit pun, kecuali tembok samping pembatas asrama cewek dekat asramaku. Waktu itu, banyak warga panik, mendengar isu sunami yang diprediksi akan melahap seluruh wilayah Jogja. Orang-orang berlarian, tak tahu arah yang akan di tuju. Masing-masing menyelamatkan diri, trauma dengan tsunami Aceh yang menewaskan puluhan ribu nyawa manusia. Di saat kepanikan mulai reda, salah seorang kawan Jepara menghampiriku dan memberitahu, bahwa ada satu anak Jepara meninggal dunia saat gempa yang merobohkan base came MASKARA. Kemudian pada malam harinya, suasana sunyi menyelimuti Jogja. Kawan-kawan Maskara berkumpul di depan Rektorat dan keesokan harinya ta’ziah ke rumah duka, di desa Troso, Pecangaan, Jepara. Kami pun bersama-sama pulang ke Jepara menggunakan fasilitas mobil kampus. Sampailah di Jepara. Selesai acara ta’ziah akupun pulang ke rumah.

***

Sampai di rumah, rasa trauma masih menggelayuti kesadaran jiwaku. Setiap kali melangkah seakan gerakan bumi terus bergunjang, hingga aku benar-benar yakin bahwa itu sebenarnya hanya ilusi yang tak perlu aku takuti. Dua bulan lebih aku berada di rumah, sesekali aku minta informasi ke Fakultas melalui telpon, siapa tahu ada informasi ujian semester genap yang sempat terputus akibat peristiwa gempa tersebut. Pihak fakultas belum bisa memberi kepastian, apakah ujian semester di lanjutkan atau tidak. Mereka hanya memberitahu bahwa seluruh gedung fakultas sudah tidak bisa digunakan. Ini berarti, ujian semester tidak bisa dilanjutkan lagi. Lama aku di rumah hingga rasa rindu untuk kembali ke Jogja semakin tak tertahankan.

Sampailah aku di Jogja. Ku pandangi kanan-kiri bangunan yang roboh. Mereka terdiam membisu seakan tak mau bertutur sapa dengan siapa pun, termasuk dengan diriku yang baru saja sampai di kota ini. Ketika sampai asrama, tak ku jumpai teman-teman di sana, kecuali hanya Mas Hari dan Bung Ja’far (Senior Asrama Minhajul Muslim). Teman-teman seangkatan belum ada yang datang, mungkin masih trauma, kalau-kalau gempa datang lagi, mengusik ketenangan manusia-manusia pengejut seperti diriku.

Aku semakin kesepian, dikeheningan malam, ku coba jalan-jalan menyusuri ruas jalan raya dan gang-gang sempit Sapen, Papringan dan Nologaten. Siapa tahu temen-temenku yang ngekos di sana Sudah ada di Jogja. Minimal kami bisa berbagi cerita untuk menggurangi rasa sepi yang terus menghantui diri ini. Walhasil, nihil………

***

Tiba-tiba terhentak dalam lamunan semu, sebuah impian yang kini masih terpendam dalam anggan, hadir menerobos kesadaran jiwaku. Impian menjadi seorang “penulis”. Ya, seorang penulis. Sebuah obsesi yang telah lama terpendam dalam anggan, jauh sebelum kehadiranku di kota ini. Ingin ku raih cita-cita itu, namun apa daya tak kuasa menggapainya. Dalam anggan, aku ingin sekali mempunyai sebuah komunitas yang concent dikepenulisan. Melalui komunitas inilah, aku berharap bisa hidup sebagai seorang penulis sejati. Mengutip pernyataan Imam Ghazali, “Jika engkau bukan anak seorang raja atau pengusaha, maka jadilah seorang penulis”. Semangat inilah yang terus menyala dalam semangat hidupku. Namun, aku masih binggung di mana aku bisa menemukan komunitas seperti yang aku bayangkan itu.

Kebinggungan yang terus ku hadapi akhirnya menemukan diriku kepada seorang kawan—saat berada di masjid kampus UIN. Kami berkenalan sejenak. Dia adalah salah seorang santri Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari dekat Krapyak. Pesantren ini diasuh oleh Gus Zainal Arifin Thoha. Sosok Gus Zainal menurut penuturan kawanku tersebut adalah sosok yang sangat bijak. Bahkan, Santri asuhan Gus Zainal dilarang minta uang kepada orang tuanya. Apapun alasannya, santri yang bertekat tinggal di sana harus siap memutus ketergantungan finansial dari orang tua. Dalam hati aku tertegun ketika mendengar pemaparan santri gus Zainal.

Lantas aku bertanya, “lalu bagaimana caranya kita hidup mandiri”?.

Ia menjawab, “Santri Gus Zainal di beri ketrampilan menulis di Media Massa”.

“Menulis”? tanyaku sambil menginggat cita-cita yang dulu pernah terbesit dalam lamunan semuku.

Ok, “besok malam aku mau ke Pondokmu”, pintaku tiba-tiba.

“Boleh aku minta alamatnya”?, tambahku.

“Boleh”,Alamatnya Jalan Minggiran MJ II/ 1482-B Yogyakarta 55141 (dekat pesantren Komplek Q Al Munawwir).

—***—

Malam itu, dengan ditemani seorang kawan, aku berkunjung ke pesantren Gus Zainal di Minggiran dekat Krapyak. Waktu itu sedang ada pengajian rutin ba’da Maghrib. Aku tidak langsung masuk pesanttren. Ku tunggu di luar hingga pengajian selesai. Setelah pengajian selesai, dilanjutkan Sholat Isya’ berjama’ah. Aku pun ikut berjama’ah bersama Gus Zainal dan para santrinya. Selesai jama’ah, aku disuruh salah seorang santri beliau untuk langsung menghadap. Di sana kusampaikan maksud dan tujuanku untuk menjadi santrinya.

Pertemuanku dengan gus Zainal waktu itu hanya beberapa saat, karena gus Zainal meminta kami ke “Aula KUTUB”, sebelah timur rumah beliau. Di sana kami melanjutkan obrolan santai dengan beliau. Sosok gus Zainal yang ku kenal saat itu memang sangat ramah dan baik hati. Bahkan, beliau beberapa kali mengatakan nga’ usah ewuh pekewuh, biasa aja. Sosok pribadi yang sangat fleksibel yang tidak seperti para pengasuh pesantren pada umumnya.

Sejak itulah aku semakin yakin untuk menjadi bagian dari Pesantren Hasyim Asy’ari Yogyakarta.

Cabean-Bantul , 02 Agustus 2008