Resensi Pergerakan Perempuan

RESENSI  BUKU

Minggu, 26 April 2009

Titik Awal Pergerakan Kaum Perempuan Nusantara

kongres-perempuanJudul Buku :Kongres Perempuan Pertama; Sebuah Tinjauan Ulang
Penyusun :Susan Blackburn
Penyunting :Monique Soesman
Penerbit :Yayasan Obor Indonesia & KITLV Jakarta
Cetakan :I, April 2007
Tebal Buku :xIix + 256 halaman
Peresensi :Minan Nuri Rohman***)

Kongres perempuan pertama yang dilaksanakan pada tanggal 22-25 Desember 1928 menjadi tonggak awal sejarah kebangkitan perempuan Indonesia dalam menentukan posisi mereka dan sekaligus menuntut hak kesetaraan atas kaum laki-laki dan perubahan universal lainnya. Beragam persoalan terkait dengan masalah perkawinan anak , perceraian, gender, hak serta kewajiban kaum istri dan lain sebagainya terangkum dalam kongres perempuan selama 3 hari itu. Pada awalnya, mereka merasa pesimis akan terselenggaranya kongres tersebut, menginggat posisi perempuan pada waktu itu masih dalam subordinat kekuasaan kaum laki-laki yang memegang kekuasaan sepenuhnya. Melalui semangat yang menggelora tinggi untuk memperjuangkan nasib kaum perempuan, akhirnya kongres perempuan pertama yang dilaksanakan di Gedung Mandala Bhakti wanitatama Yogyakarta itu menjadi titik awal pergerakan kaum perempuan menuju perubahan masa depan bangsa yang dicita-citakan.

Kongres perempuan pertama ini diselenggarakan tidak lama setelah peristiwa Sumpah Pemuda diikrarkan, hanya selang kurang lebih dua bulan (28 Oktober 1928). Ini artinya, semangat kaum perempuan memperjuangkan hak kaum perempuan dari keterkungkungan dominasi laki-laki serta kebijakan sepihak pemerintah kolonial saat itu betul-betul teruji. Bahkan dari sekian pembahasan yang di kaji pada waktu itu sampai sekarang masih relevan dan terus diupayakan titik temu solusi pemecahannya, seperti masalah gender, poligami, kesehatan reproduksi perempuan, perkawinan dan perceraian, diskriminasi perempuan, dominasi laki-laki serta masalah-masalah lainnya terkait mediasi inferioritas kaum perempuan atas laki-laki dll sekarang masih diperbincangkan.

Dalam kongres tersebut, sekitar 1.000 peserta tampak memadati ruang resepsi pembukaan kongres yang terdiri dari berbagai kalangan aktifis organisasi perempuan Nusantara dan organisasi non perempuan, seperti Organisasi Budi Utomo diwakili oleh Mr. Singgih dan Dr. Soepomo, dari PNI Mr. Soejoedi, sedangkan wakil dari PSI adalah Dr. Soekiman. Ketua Walfajriah, A.D. Haani, yang sayap perempuannya dikenal cukup radikal, saat itu tampak hadir pula memberikan dukungannya dalam acara resepsi pembukaan kongres perempuan pertama tersebut (hal xi).

Keanekaragaman sejumlah organisasi yang ikut berpartisipasi dalam kongres tersebut memperlihatkan semangat membara dalam jiwa kaum perempuan dalam menuntut tercapainuya kemerdekaan dalam berbagai sektor penting melalui sebuah ikatan organisasi. Hal ini tidak bisa dipungkiri, bahwa kaum perempuan sebenarnya memiliki progresifitas futuristik menuntut terwujudnya eksistensinya ditengah kehidupan global sebagai bagian penting yang tak bisa dipisahkan. Para aktifis perempuan dalam kongres tersebut sudah sangat berani berdebat dan berargumentasi dalam mempertahankan pendirian mereka masing-masing. Perbedaan pendapat dalam kongres tersebut juga terlihat intern organisasi islam dalam berbagai diskusi dan berlangsung cukup alot. Sebagian ada organisasi islam yang kukuh tidak bersedia melakukan pembaharuan atau perubahan-perubahan terkait dengan isu perempuan islam. Tetapi, ada pula organisasi islam lainnya yang berfikir sangat maju (progresif) seperti JIBNA, sayap perempuan Sarikat Islam dan Natdatoel Fataat yang menggusung adanya perubahan menghendaki terwujudnya pembaharuan dalam mengangkat status perempuan pribumi (hal xii).

Dari perjalanan kongres perempuan pertama di Jogjakarta waktu itu lebih banyak membahas dan menekankan pentingnya pendidikan modern bagi perempuan muda, disatu sisi mereka tidak sepakat dengan konsep pendidikan barat yang terlalu progresif dan dianggap berpotensi merusak kaum muda. Disisi lain mereka menunjukkan sikap pro terhadap konsep pendidikan barat sebagaimana diusung oleh Ny. Gunawan dan Ny. Titi Sastroamidjoyo yang waktu itu baru saja pulang dari Negeri Belanda, setelah beberapa tahun tinggal disana bersama suaminya. Keduanya memberi pandangan tentang apa yang perlu dipuji dan apa yang perlu dicela dalam kehidupan kaum perempuan di Eropa. Seperti masalah kebersihan, kemajuan dan kemandirian kaum perempuan perlu dikagumi. Namun, disisi yang lain masalah feminisme perempuan di Eropa telah melangkah terlalu jauh sehingga mereka menggabaikan kawajiban utama sebagai seorang istri dalam ikatan perkawinan. Oleh karena itu, harus ada sikap penyesuaian menurut tindak laku dan watak perempuan indonesia yang berkiblat pada budaya Timur (islam).

Upaya Rekonstruksi
Kini saatnya generasi perempuan mulai bangkit menyusun strategi barisan gerakan perempuan untuk mewujudkan tercapainya cita-cita luhur sebagaimana telah digagas dalam kongres pertama di Jogjakarta oleh R.A Soekanto, Nyi Hadjar Dewantoro dan ibu Soejatin Dkk. Beragam problematika seputar perempuan seperti KDRT (Kekerasaan Dalam Rumah Tangga), Gender (kesetaraan terhadap hak dan kewajiban perempuan), dominasi laki-laki dan perlakuan perempuan sebagai obyek dari setiap permasalahan intern-ekstern keluarga belum juga selesai untuk digarap sampai saat ini. Spirit dan gebrakan-gebrakan revolusioner menciptakan iklim persamaan hak dan kewajiban tampaknya sedikit mulai terlihat seperti apa yang dilakukan oleh aktifis perempuan Ibu Sinta Nuriyah Abdurahman Wahid, melalui Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) mencoba melakukan reinterpretasi buku-buku (kitab) kuning yang biasanya dipakai pondok pesantren yang sebagian besar mendeskriditkan peran perempuan terutama dalam hubungan suami-istri.

Melalui semangat persatuan organisasi-organisasi perempuan di seluruh Nusantara inilah, akan muncul perubahan baru dalam merekonstruksi tatanan peran dan fungsi perempuan menjadi lebih baik dan bermartabat dimata dunia global. Perempuan tidak lagi dinomorduakan atau bahkan diperlakukan kasar secara fisik maupun psikologis, mereka mempunyai hak dan kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki lainnya, baik dalam sektor formal maupun nonformal.

Buku ini merupakan hasil tinjauan ulang yang dilakukan oleh Susan Blackburn (seorang peneliti asal Australia) yang menaruh perhatiannya atas peristiwa kongres perempuan pertama tahun 1928 itu. Awalnya pada tahun 1993, Susan Blackburn dari Australia melakukan penelitian di Indonesia, ia menemukan fotocopy majalah “ISTRI” yang merupakan cikal bakal hasil kongres pada waktu di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Kemudian ia menyalin naskah tersebut sesuai dengan bahasa aslinya supaya tetap terjaga keasliannya. Buku ini berisi tentang naskah-naskah pidato para pembicara yang disampaikan pada acara kongres tersebut, dalam buku ini juga berisi hasil kesepakatan-kesepakatan dari rumusan-rumusan permasalah yang telah dikaji selama 3 hari itu (hal 11-245).

Buku ini sangat penting dan wajib dibaca oleh generasi muda Indonesia saat ini supaya roh spirit para aktivis tahun 1920-an tetap membara, dan perjuangan untuk mendapatkan hak-haknya benar-benar menjadi kenyataan, sehingga perempuan tidak lagi tertindas, namun berdiri tegak setara dengan kaum laki-laki. Selamat Membaca.

***)Peresensi Adalah Pemerhati Masalah Perempuan dan Genger, Aktifis pada Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY).

Tulisan ini diambil dari Seputar-Indonesia.Com. di muat pada  Minggu, 23 Desember 2007

Tinggalkan komentar